Gonjang Ganjing Resufle Kabinet, JPK dam FDK Gelar Diskusi Virtual


Banten, Tabloid NPP - Jamaah Pengajian Kebangsaan (JPK) dan Forum Diskusi Kebangsan (FDK) yang diketuai Gus Sholeh berhasil menggelar diskusi virtual dengan tema, “Gonjang-ganjing Isu Reshuffle Kabinet Jokowi” Jumat (10/7/2020).

Saat menyampaikan prakata awal Gus Sholeh menyayangkan kinerja para menteri kabinet Jokowi pada periode ini. Secara gamblang tokoh muda NU ini menyebut bahwa lebih baik kabinet Jokowi yang pertama dari pada kabinet saat ini.

“Kita cukup respek dengan Presiden Jokowi, yang selalu bekerja maksimal untuk kemajuan bangsa Indonesia, akan tetapi para menteri-menterinya banyak yang tidak bisa mengikuti ritme kinerja Presiden Jokowi alias lelet,  kalau para menteri yang tidak mampu bekerja dengan pola kerja Presiden Jokowi, sebaiknya mundur saja atau di reshuffle masih banyak putra-putri terbaik di negeri ini, banyak pakar-pakar yang mumpuni” kata Gus Sholeh.

Dia pun berharap Presiden Jokowi mendengarkan suara publik untuk mengganti menteri-menteri yang kurang kompeten dan buruk kinerjanya.

Disisi lain pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia Lisman Manurung berpendapat tata kelola demokratis (Democratic Governance) secara signifikan mengalami transformasi oleh efek sosio politik dan ekonomi yang ditimbulkan oleh covid 19.

Misalnya menguatnya Global Public Policy yakni guidance dari WHO atas 215 negara dalam masing masing public policy making.

“Isu dominan yang menjadi pergunjingan baru adalah Digital Governance,” jelas peraih doktor di salah satu universitas di Australia ini.

Sedangkan Pengamat Intelejen Stanislaus Riyanta  menyebut reshuffle kabinet adalah hal yang biasa dan menjadi kewenangan penuh dari Presiden.

Namun kata dia, ada beberapa hal yang memungkinkan terjadi reshuffle seperti kinerja yang tidak sesuai dengan target, adanya halangan dari menteri sehingga harus diganti seperti terkena masalah hukum, atau adanya tekanan politik.

“Pada periode pertama Joko Widodo, 2014-2019, tercatat melakukan Reshuffle sebanyak empat kali dan enam menteri mundur. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemerintahan Joko Widodo, reshuffle adalah hal yang biasa,” jelas Riyanta.

Saat ini jelas Riyanta, tekanan terhadap pemerintah Joko Widodo cukup tinggi, karena adanya pandemi Covid-19 dan tekanan politik serta publik yang menyoroti kinerja kabinet. Presiden Joko Widodo sudah mengungkapkan kemarahannya terhadap kabinet bahkan dengan ancaman pencopotan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sinyal reshuffle   sudah semakin dekat walaupun beberapa saat kemudian Mensekneg Pratikno menyatakan bahwa kinerja menteri sudah membaik.

Jika melihat situasi saat ini maka momentum yang tepat untuk melakukan reshuffle kabinet adalah menjelang atau sesaat setalah Pilkada usia. Harapannya adalah Presiden Joko Widodo jika perlu melakukan reshuffle adalah dengan memperbanyak profesional dibanding politikus, sehingga kinerja kabinet lebih baik lagi.

Sementara, Direktur Eksekurif Political and Public Policy Studies (P3S) mempertanyakan Apakah ini sandiwara karena ada bacaan-bacaan yang harusnya nggak perlu. Ini seharusnya presiden melihat kebutuhan publik, bukan sekadar keinginan.

“Jangan-jangan ini mirip telenovela Maria Mercedes, Kassandra atau Si Muka Kotor, publik lagi wait and see soal pernyataan presiden berkaitan dengan reshuffle kabinet, kalau tidak dilakukan maka kepercayaan publik akan hilang distrust and disintegrity lantaran bulan febuari juga sempat behembus kabar pergantian menteri,” jelas peneliti politik Amerika ini.

Selanjutnya kata Jerry, mimpi bisa, tapi actionnya mana?

Harusnya pak Jokowi ucap dia, melihat mana menteri-menteri yang loyo, lesu, lemah dan banyak bikin gaduh di fire atau copot saja.

“Jangan terlalu banyak asumsi tapi to the point saja. Bilang gagal kalau gagal jangan memuji yang kinerjanya buruk. Harusnya, dibentuklah tim ahli di belakang Jokowi (untuk bahas reshuffle) seperti era mendiang Gus Dur dan Presiden ke-6 SBY.

Sebetulnya tegasnya, kabinet sekarang bukan kabinet yang menyenangkan kuping. Bagaimana dengan tiga dapur di Istana Kepresiden? Ini kan sebenarnya kecekatan presiden melihat. Di partai-partai pendukung Jokowi banyak, kok kandidat menteri yang hebat untuk gabung di kabinet.

“Kalau tidak ada reshuffle, kepercayaan publik akan menurun. Perlu reshuffle,” katanya.

Begitu pula dengan pengamat politik Wempy Hadir yang lebih menekankan dramaturgi reshuffle Ini menggambarkan siapa di belakang reshuffel.

“Secara historis, Jokowi sebenarnya sudah pernah lakukan. Harusnya nggak ada masalah lagi soal kebijakan tersebut. Soal marah-marah saya pikir hanya untuk mendobrak untuk dorong kinerja dan gaya komunikasi istana sebelumnya. Soal reshufle, ini tergantung rating approval. hasil survey menunjukkan RA itu di bawah 55 persen. Ini sangat rendah sekali. Kalau ini basisnya, ini sudah sepatutnya diganti,” terangnya.

Masalahnya, di sini ada kompromi politik. Memang agak sulit bicara koalisi. 1.Kesamaan ideologi, 2.Kepentingan. Apa visi misi sama.

“Saya kira nggak ada persoalan kalau sama. Masalahnya mereka juga punya keinginan politik untuk 2024 meningkatkan elektoral. Kita tidak bisa berharap kalau partai hanya mengirim orang terdekat, bukan terbaik,” kata Wempy.

Isu ini tidak terlepas dari konstelasi perpolitikan nasional. PAN dan PD lakukan pendekatan politik ke Jokowi. AHY menuju 2024.

Pegiat Medsos Rudi S Kamri dalam kesempatan ini mengajak agar pendukung Jokowi tetap tenang dan terus mendukung pemerintahan beliau lebih dari itu memberikan kesempatan pada Presiden.

Pegiat medsos ini yakin Jokowi tahu apa yang dibutuhkan publik.

“Jadi soal reshuffle kabinet, paling tidak Presiden memahami siapa yang layak ganti, biarlah kita menyerahkan pada keputusan Presiden,” tegas Rudi.
Diberdayakan oleh Blogger.